Friday, September 23, 2005

Wanita mana yang bisa setegar ini?

Ada Hati-hati Kecil Yang Harus Dijaga
taken from dHadrockaz maillist

Apa dia merasa putus asa saat mengetahui gaji suaminya hanya 200 ribu sebulan? Apa dia putus asa saat mrk hrs berpindah2 kontrakan dari satu rumah mungil ke rumah mungil yg lain? Apa wanita itu mengeluh, saat berbulan2 hanya makan tempe dan sayur, yg masing2 dibeli seribu rupiah di warung, saat sang suami tak bekerja cukup lama?

Jawabannya tidak.Wanita berwajah manis, yg saya kenal itu sebaliknya selalu terlihat cerah, seolah permasalahan ekonomi yg menerpa keluarga kecil mrk, tak berarti apa-apa.
Pun saat kesulitan hidup terus berlanjut. Menjelang kelahiran anak pertama mrk, suami masih belum memiliki pekerjaan yg mapan. Tapi wanita itu tak putus asa. Sedikitpun dia tak menyesali telah menikah dgn lelaki pilihannya. Lelaki yg dia cintai karena kecerdasan dan kegigihannya. Lelaki yg amat dia hormati, yg dia tahu selalu berupaya sungguh-sungguh untuk membahagiakan, dan membuatnya merasa seperti seorang putri.

Dan kenyataan bahwa mrk tinggal di rumah kontrakan yg nyaris runtuh, dgn kamar mandi jelek, dan serangga di mana2 yg kerap menimbulkan ruam merah pd kulitnya yg putih. Wanita itu tak pernah sedikitpun mengeluh.
Lalu anak pertama lahir. Gagah, dgn alis tebal nyaris bertaut. Dia dan suami menerima kehadiran pangeran kecil itu dgn hati berbunga. Meski mrk hrs berhutang kesana kemari agar biaya kelahiran bisa dilunasi. Sekali lagi, wanita itu tak pernah mengeluh.

Hidup baginya adlh rentetan ucapan syukur kpd yg kuasa, dari waktu ke waktu. Saat anak kedua mrk lahir, roda ekonomi keluarga telah jauh lbh baik. Laki2 yg dicintainya mendapatkan pekerjaan yg mapan. Mrk tak lagi bingung memikirkan kebutuhan sehari2, makan, lalu susu anak2.

Wanita yg saya kenal sejak lama itu, membantu suaminya dgn bekerja paruh waktu bagi sebuah taman bermain anak2 yg cukup prestise. Seiring kehidupan yg mulai membaik, wanita itu tak lagi mengerjakan semua sendiri. Apalagi seorang buah hati lagi telah hadir. Sang suami memintanya lbh konsen kpd pekerjaan paruh waktu yg digeluti istrinya. Tahun ke empat pernikahan mrk mulai menyewa baby sitter, saat itu si bungsu belum berusia sepuluh bulan.

Lalu datanglah kesempatan bagi sang istri. Lembaga tempat dia bekerja paruh waktu, menawarkan program training ke luar negeri. Awalnya sang istri ragu, sebab dia khawatir meninggalkan anak-anak selama dua pekan. Tetapi lelaki yg dicintainya memberikan support dan mendorongnya untuk pergi,
“Ini pengalaman bagus buat Ibu,” kata lelaki itu. Dan saat dia ingin membantah, lelaki itu menggelengkan kepalanya, “Wanita lain ingin mendapatkan pengalaman berharga seperti ini. Ibu hrs pergi. Gak apa. Ada mbak yg menjaga anak-anak.”

Setengah hati wanita berwajah manis itu meninggalkan keluarganya. Selama dua pekan di sana dilaluinya dgn rindu yg menyiksa, dan perasan berat karena selalu terbayang anak-anak. Naluri keibuannya rupanya tak bisa dibohongi. Meskipun sang suami selalu berkata semua baik-baik saja, wanita itu merasakan ada sesuatu yg terjadi. Dan perasaannya benar. Anak bungsu mrk dirawat di rumah sakit karena demam berdarah! Suaminya yg takut membuatnya panik baru menjelaskan saat istrinya pulang ke tanah air.
“Maafkan ayah, ayah takut ibu bingung.” Wanita itu menangis. Syukurlah kondisi putri mrk membaik Tapi ada hal lain yg terjadi. Hal yg tak pernah diduganya, hal yg membuat jantungnya luruh.

Suaminya jatuh cinta. Wanita itu sungguh tak percaya, saat mendengarkan ibu mertuanya menangis tersedu-sedu menjelaskan apa yg terjadi. Dunia bahagia yg selama ini dibangunnya seakan runtuh. Apalagi saat mengetahu gadis yg membuat suaminya jatuh hati, adlh baby sitter yg mrk sewa.

Mrk hanya berpegangan tangan. Tak lbh. Elak suaminya. Tapi hati wanita itu telanjur hancur. Harapan-harapan yg dibangunnya seakan menguap. Suaminya berpaling. Lelaki yg telah membuatnya merasa seperti seorang putri, jatuh cinta lagi. Allah… apa maksudmu dgn ini semua? Batin sang istri yg terkoyak. Dgn hati hempas, dia memanggil baby sitter mrk. Baru kali ini si wanita memandang lekat-lekat gadis berusia sembilan belas tahun itu.

Meskipun dari desa, wajahnya memang ayu. Kulitnya bersih, rambutnya yg panjang tampak begitu mengilat. Dulu tak dikiranya kecantikan lugu itu akan memorakmorandakan rumah tangga mrk.
Wanita itu duduk berhadapan dgn baby sitter yg tertunduk salah tingkah. “Sudah sejauh apa?’ Baby sitter itu mengelak. Tak mau berbicara lbh jauh. “Apa kamu menyukai Bapak?” Baby sitter itu diam. Ragu. Lalu kepalanya pelan menggeleng. “Saya tak keberatan jika bapak menyukaimu, dan kamu menyukai bapak, Kalian bisa menikah!"
Saya kaget. Saya berada di sana, menemani wanita yg telah lama menjadi sahabat saya. Tetap saja kalimat terakhirnya mengejutkan saya.
Si baby sitter menggeleng. Lagi2 salah tingkah. Tak jauh dari mrk, mertua sahabat saya tampak menangis sesenggukan. Sebaliknya wajah sahabat saya tampak sangat tegar. Ketegaran itu baru runtuh saat kami hanya berdua. Sahabat saya menangis. Belum pernah saya melihat air mata sebanyak itu tumpah di wajahnya.
“Saya sedih,” bisiknya, “Salahkah?” Saya menggeleng. Kesedihan adlh teman kemanusiaan. Tak apa.
“Ibu tadi cerita, bahkan saat Andin sakit, Ayahnya memilih menemani wanita itu berobat, meski hanya flu biasa, dan meninggalkan Andin diperiksa hanya dgn ibu,”

Ah, lelaki begitu mudahkah larut dlm pesona? Saya kehilangan kata. Percuma mengibur, apalagi berkata saya mengerti perasaannya. Saya tak ingin berbasa basi yg tak perlu.

Kehidupan berlanjut. Suami wanita itu mengakui kesalahannya, dan berjanji tak akan mengulangi. Lelaki itu memohon2 agar sang istri mau memaafkannya.
“Bisakah?” tanya saya suatu hari. Saat itu tahun2 sudah berlalu begitu banyak. “Saya tak tahu,” jawab sahabat saya.
Selalu dan selalu, matanya yg cerah meredup setiap teringat kisah itu. Barangkali memang ada beberapa luka yg tak bisa sembuh, bahkan oleh waktu.

Enam bulan setelah kejadian itu, sahabat saya memang sempat bercerita perasaannya setiap kali suaminya mendekati, “Saya merasa jijik,” ujarnya dgn wajah bersalah. “Tak apa, semua perlu waktu. Lagian yg terjadi tak sejauh itu. Jangan menyiksa pikiran,” “Tapi siapa yg tahu apa yg sebenarnya terjadi?” Saya diam. Sahabat saya benar. Hanya suaminya dan si baby sitter yg tahu segala. Mrk terkadang pergi ke luar rumah berdua. Dulu terasa biasa saja mrk hanya ke warung, atau apotik. Entahlah.

Saat saya meminta izin menuliskan cerita ini, sahabat saya mengiyakan, meski dia masih belum lagi sembuh dari kesedihan. Memang tak ada perceraian. Sang suami tampak bersungguh-sungguh menjaga keutuhan keluarga mrk. Apalagi ada anak-anak diantara keduanya.

"Dia bapak yg baik!” papar sahabat saya suatu hari. Kehidupan memang terus berjalan. Satu peristiwa, satu hati yg berdarah. Satu hati yg belum juga sembuh. “Kami masih tak bisa bersama,” jelasnya. Saya mengerti. Peristiwa itu seolah membekukan semua kehangatan dan keceriaannya sebagai seorang istri. Sang suami tak memaksa. Menjalani saja kehidupan apa adanya. Anak-anak lbh penting.
Entah sampai kapan mrk bisa bertahan, saya tak tahu. Tak juga mau menduga-duga.
Saya cukup senang akhirnya sahabat saya bisa mendapatkan kepercayaan diri yg sempat hancur saat menyadari sosok wanita yg telah merebut hati suaminya, tak hanya lbh tapi juga jauh lbh muda. Perlahan sahabat saya mencoba melupakan apa yg terjadi. Padahal dunia sempat terasa berhenti baginya.

“Sampai saya sadar, Asma. Di luar sana, banyak pengalaman yg jauh lbh buruk, menimpa istri-istri lain. Apa yg terjadi pd saya, barangkali tak seujung kuku yg dialami wanita-wanita lain.”

Hubungan normal layaknya suami istri memang sudah patah, akan sulit merekatkannya kembali. Tapi saya mengagumi semangatnya mempertahankan pernikahan, dan tetap menjalaninya penuh syukur. Wanita itu bahkan pasrah jika karena ketidakmampuannya sekarang, dikarenakan ulah sang suami, mungkin justru mengakibatkan sang suami menikah di belakangnya.
“Dulu hal itu perkara besar buat saya, tapi sekarang…” sahabat saya itu tertawa. Sebenarnya banyak yg ingin saya tanyakan padanya. Apa dia bahagia? Apa suaminya bahagia? Kenapa tak bercerai dan sama-sama memulai yg baru? Sebagian orang mungkin akan berpikir begitu. Hidup terlalu singkat untuk larut dlm ketidakbahagiaan.

Betapapun saya menghormati komitmen keduanya. Juga perkataan sahabat saya, yg akan selalu saya ingat, “Ada hati-hati kecil yg hrs dijaga, Asma. Setiap mengingat mrk, maka luka-luka lain menjadi kalah penting. Kebahagiaan saya sempat runtuh, tapi kebahagiaan ketiga anak saya tidak. Dan saya hrs bisa menjaganya. Sekuat saya.”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home